Sabtu, 28 Mei 2011

Penyimpanan Segar Buah Jambu Biji

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jambu Biji
Jambu biji adalah salah satu tanaman buah jenis perdu, dalam bahasa Inggris disebut Lambo guava. Tanaman ini berasal dari Brazilia Amerika Tengah, menyebar ke Thailand kemudian ke negara Asia lainnya seperti Indonesia. Hingga saat ini telah dibudidayakan dan menyebar luas di daerah-daerah Jawa. Jambu biji sering disebut juga jambu klutuk, jambu siki, atau jambu batu (Anonymousa, 2011).
Buah ini sangat kaya sumber serat larut (5,4 g per 100 g buah, sekitar 14% dari kebutuhan harian), yang membuatnya menjadi pencahar massal yang baik. Kandungan serat membantu melindungi usus besar selaput lendir dengan mengurangi waktu terkena racun serta mengikat bahan kimia penyebab kanker di usus besar (Anonymous, 2010).
Jambu batu (Psidium guajava) adalah tanaman tropis yang memiliki buah yang berwarna hijau dengan daging buah berwarna putih atau merah dan berasa asam-manis. Buah jambu batu dikenal mengandung banyak vitamin C. Vitamin C sangat penting untuk sintesis kolagen dalam tubuh. Kolagen adalah protein struktural utama dalam tubuh diperlukan untuk menjaga integritas pembuluh darah, kulit, organ, dan tulang (Anonymous, 2010).

2.2 Panen Jambu Biji
Kebanyakan buah-buah segar dipanen secara manual kemudian dimasukkan ke dalam keranjang penampung sementara, dan kemudian ditempatkan atau dikumpulkan di suatu tempat dekat lapang penanaman. Pemanenan dilakukan terhadap buah-buah yang telah menunjukkan criteria yang ditetapkan. Penetapan ini sangat terkait dengan tujuan dan jarak pemasaran. Namun demikian, pemanenan pada kondisi matang optimal merupakan kondisi terbaik bagi buah-buah agar diperoleh kualitas buah masak yang maksimal. Kondisi atau indek panenan untuk buah telah dijelaskan pada bab khusus di depan (Santoso, 2011).



2.2.1 Ciri dan Umur Panen
Buah jambu biji umumnya pada umur 2-3 tahun akan mulai berbuah, berbeda dengan jambu yang pembibitannya dilakukan dengan cangkok/ stek umur akan lebih cepat kurang lebih 6 bulan sudah bisa buah, jambu biji yang telah matang dengan ciri-ciri melihat warna yang disesuikan dengan jenis jambu biji yang ditanam dan juga dengan mencium baunya serta yang terakhir dengan merasakan jambu biji yang sudah masak dibandingkan dengan jambu yang masih hijau dan belum masak, dapat dipastikan bahwa pemanenan dilakukan setelah jambu bewarna hijau pekat menjadi muda ke putih-putihan dalam kondisi ini maka jambu telah siap dipanen (Anonymousa, 2011).

2.2.2 Cara Panen
Cara pemanenan yang terbaik adalah dipetik beserta tangkainya, yang sudah matang (hanya yang sudah masak) sekaligus melakukan pemangkasan pohon agar tidak menjadi rusak, waktunya setelah 4 bulan umur buah kemudian dimasukkan ke dalam keranjang yang dibawa oleh pemetik dan setelah penuh diturunkan dengan tali yang telah disiapkan sebelumnya, hingga pemanenan selesai dilakukan. Pemangkasan dilakukan sekaligus panen supaya dapat bertunas kembali dengan baik dengan harapan dapat cepat berbuah kembali (Anonymousa, 2011).

2.2.3 Periode Panen
Periode pemanenan setelah buah jambu biji dilakukan pembatasan buah dalam satu rantingnya kurang lebih 2-3 buah, hal ini dimaksudkan agar buah dapat berkembang besar dan merata. Dengan sistem ini diharapkan pemanenan buah dapat dilakukan dua kali dalam setahun (6 bulan) atau sekitar 2-3 bulan setelah berbuah, dengan dicari buah yang masak, dan yang belum masak supaya ditinggal dan kemudian dipanen kembali, catatan apabila buah sudah masak tetapi tidak dipetik maka akan berakibat datangnya binatang pemakan buah seperti kalong, tupai dll (Anonymousa, 2011).

2.3 Pasca Panen Jambu Biji
Penanganan buah dilakukan untuk tujuan penyimpanan, transportasi dan kemudian pemasaran. Langkah yang harus dilakukan dalam penanganan buah setelah dipanen meliputi pengumpulan, pemilihan (sorting), pemisahan berdasarkan umuran (sizing), pemilihan berdasarkan mutu (grading), penyimpanan, kemudian pengemasan dan pengangkutan (Anonymousa, 2011).

2.3.1 Pengumpulan
Setelah dilakukan pemanenan yang benar buah jambu biji harus dikumpulkan secara baik, biasanya dikumpulkan tidak jauh dari lokasi pohon sehingga selesai pemanenan secara keseluruhan. Hasil panen selanjutnya dimasukkan dalam keranjang dengan diberi dedauan menuju ke tempat penampungan yaitu dalam gudang/gubug (Anonymousa, 2011).

2.3.2 Sorting
Pemilihan terhadap buah dilakukan untuk memisahkan buah-buah yang berbeda tingkat kematangan, berbeda bentuk (mallformation), dan juga berbeda warna maupun tanda-tanda lainnya yang merugikan (cacat) seperti luka, lecet, dan adanya infeksi penyakit maupun luka akibat hama (Santoso, 2011).

2.3.3 Sizing
Pengukuran buah dimaksudkan untuk memilah-milah buah berdasarkan ukuran, berat atau dimensi terhadap buah-buah yang telah dipilih (proses di atas – sorting). Proses pengukuran buah dilakukan secara manual maupun mekanik. Kalau pekerjaan ini dilakukan secara mekanik, maka persyaratan perlatan seharusnya memiliki kapasitas yang tinggi, memiliki ketepatan (akurasi), dan tidak menyebabkan luka pada buah (Santoso, 2011).

2.3.4 Grading
Pada tahapan ini, buah-buah dipilah-pilah berdasarkan tingkatan kualitas pasar (grade). Tingkatan kualitas dimaksud adalah kualitas yang telah ditetapkan sebagai patokan penilaian ataupun ditetapkan sendiri oleh produsen (Santoso, 2011).

2.3.5 Penyimpanan
Penyimpanan jambu biji biasanya tidak terlalu lama mengingat daya tahan jambu biji tidak bisa terlalu lama dan sementara belum dapat dijual ke pasar ditampung dulu dalam gubug-gubug atau gudang dengan menggunakan kantong PE, suhu sekitar 23-25º C dan jambu dapat bertahan hingga 15 hari dalam kantong PE dan ditambah 7 hari setelah dikeluarkan dari kantong PE, sehingga dapat meningkatkan daya simpan 4,40 kali dibandingkan tanpa perlakuan. Tekanan yang baik adalah - 1013 mbar dan dapat menghasilkan kondisi PE melengket dengan sempurna pada permukaan buah, konsentrasi CO2 sebesar 5,21% dan kerusakan 13,33% setelah penyimpanan dalam kantong PE (Anonymousa, 2011).
Umur segar jambu biji dapat mencapai hingga 2 – 3 minggu bila kondisinya penyimpanan bersuhu 45 – 50º F atau 10 – 12°C dan kelembaban 90%. Kondisi paling ekstrim yang masih memberikan pengaruh baik dari penyimpanan jambu biji ini adalah suhu 7,5°C dengan kelembaban 85 – 90% (Santoso, 2011).

2.3.6 Pengemasan dan Pengangkutan
Jambu biji dengan hasil jual dapat tinggi tidak tergantung dari rasanya saja, tetapi pada kenampakan dan cara pengikatannya, apa bila akan di jual tidak jauh dari lokasi maka cukup dibawa dengan dimasukkan dalam keranjang dengan melalui sarana sepeda atau kendaraan bermotor. Untuk pengiriman dengan jarak yang agak jauh (antar pulau) yang membutuhkan waktu hingga 2-3 hari lamanya perjalanan buah jambu batu dilakukan dengan cara di pak dengan menggunakan peti yang berukuran persegi panjang 60 x 28,5 x 28,5 cm, keempat sudutnya yang panjang dengan jarak 1 cm, sisi yang pendek sebaiknya dibuat dari 1 atau 2 lembar papan setebal 1 cm, karena sisi ini dalam pengangkutan akan diletakkan di bagian bawah, sebaiknya pembuatan peti dilakukan jarang-jarang guna untuk memberi kebebasan udara untuk keluar masuk dalam peti. Sebelumnya buah jambu dipilih dan di pak. Setelah itu disusun berderet berbentuk sudut terhadap sisi peti, yang sebelumnya dialasi dengan lumut/ sabut kelapa, atau bahan halus dan lembut lainnya. Kemudian setelah penuh lapisan atas dilapisi lagi dengan sabut kelapa yang terakhir ditutup dengan papan, sebaiknya kedua sisi panjang dibentuk agak gembung, biasanya penempatan peti bagian yang pendek ditempatkan dibawah didalam perjalanan (Anonymousa, 2011).

2.4 Etilen
Etilen adalah senyawa hidrokarbon tidak jenuh yang pada suhu kamar berbentuk gas. Etilen dapat dihasilkan oleh jaringan tanaman hidup, pada waktu-waktu tertentu senyawa ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan penting dalam proses pertumbuhan dan pematangan hasil-hasil pertanian (Winarno, 1992).
Etilen adalah suatu gas yang dalam kehidupan tanaman dapat digolongkan sebagai hormon yang aktif dalam proses pematangan. Disebut hormone karena dapat memenuhi persyaratan sebagai hormon, yaitu dihasilkan oleh tanaman, bersifat mobil dalam jaringan tanaman dan merupakan senyawa organik. Secara tidak disadari, penggunaan etilen pada proses pematangan sudah lama dilakukan, jauh sebelum senyawa itu diketahui nama dan peranannya (Aman, 1989).
Meskipun sekarang sudah ada bukti-bukti yang cukup meyakinkan yang mendukung pandangan bahwa C2H4 (etilen) itu sesungguhnya merupakan hormon pematangan, namun dalam penelitian dijumpai beberapa kesukaran, diantaranya: selama ini orang belum berhasil menghilangkan seluruh C2H4 (etilen) yang ada dalam jaringan untuk menunjukkan bahwa proses pematangan akan tertunda apabila C2H4 (etilen) tidak ada (Pantastico, 1989).
Buah berdasarkan kandungan amilumnya, dibedakan menjadi buah klimaterik dan buah nonklimaterik. Buah klimaterik adalah buah yang banyak mengandung amilum, seperti pisang, mangga, apel dan alpokat yang dapat dipacu kematangannya dengan etilen. Etilen endogen yang dihasilkan oleh buah yang telah matang dengan sendirinya dapat memacu pematangan pada sekumpulan buah yang diperam. Buah nonklimaterik adalah buah yang kandungan amilumnya sedikit, seperti jeruk, anggur, semangka dan nanas. Pemberian etilen pada jenis buah ini dapat memacu laju respirasi, tetapi tidak dapat memacu produksi etilen endogen dan pematangan buah (Anonymous, 2009).
Proses Klimaterik dan pematangan buah disebabkan adanya perubahan kimia yaitu adanya aktivitas enzim piruvat dekanoksilase yang menyebabkan keanaikan jumlah asetaldehid dan etanol sehingga produksi CO2 meningkat. Etilen yang dihasilkan pada pematangan buah akan meningkatkan proses respirasinya (Anonymous, 2009).
Perubahan fisiologi yang terjadi sealam proses pematangan adalah terjadinya proses respirasi kliamterik, diduga dalam proses pematangan oleh etilen mempengaruhi respirasi klimaterik melalui dua cara, yaitu (Anonymous, 2009) :
1.    Etilen mempengaruhi permeabilitas membran, sehingga permeabilitas sel menjadi besar, hal tersebut mengakibatkan proses pelunakan sehingga metabolisme respirasi dipercepat
2.    Selama klimaterik, kandungan protein meningkat dan diduga etilen lebih merangsang sintesis protein pada saat itu.  Protein yang terbentuk akan terlihat dalam proses pematangan dan proses klimaterik mengalami peningkatan enzim-enzim respirasi.

2.5 Respirasi
Hasil pertanian setelah dipanen masih melakukan aktifitas biologis, seperti respirasi. Laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk mengetahui daya simpan komoditi pertanian. Pengukuran laju respirasi hasil panen komoditi pertanian seperti buah-buah atau sayur dapat diukur dari jumlah karbondioksida yang diproduksi atau oksigen yang dikonsumsi dalam suatu kemasan selama penyimpanan (Winarno dan Aman, 1981).
Respirasi adalah suatu proses metabolisme dengan cara menggunakan oksigen dalam pembakaran senyawa makromolekul seperti karbihidrat, protein dan lemak yang akan menghasilkan CO2, air dan sejumlah besar elektron-elektron. Dalam proses respirasi beberapa senyawa penting yang yang dapat digunakan untuk mengukur proses ini adalah glukosa, ATP, CO2 dan O2 (Winarno dan Aman, 1981).

2.6 Controlled Atmosphere Storage (CAS)
Modifikasi kadar udara dalam ruang penyimpanan bersama dengan pengaturan temperatur dan kelembaban merupakan metode penyimpanan atmosfer terkontrol (Controlled Atmosphere Storage) dalam menyimpan hasil pertanian agar lebih tahan lama. Modifikasi kadar udara yaitu pengendalian kadar oksigen dan karbon dioksida di dalam ruangan penyimpanan, umumnya yang dilakukan adalah meningkatkan kadar karbon dioksida dan menurunkan kadar oksigen. Hal ini perlu dilakukan karena tumbuhan berespirasi dengan oksigen dan berfotosintesis dengan karbon dioksida (Fauzillah, 2010).
Penyimpanan komoditas hortikultura dalam ruang penyimpanan, dimana kadar oksigen dan karbon dioksida dalam atmosfer/udara dikontrol secara teliti, pada suhu rendah dan RH tinggi disebut teknik penyimpanan kontrol atmosfer (KA). Sebaliknya komposisi udara dalam ruang penyimpanan kurang terkontrol disebut teknik modifikasi atmosfer (Smock, 1979). Secara umum penyimpanan buah pada udara tipis (rendah oksigen) berkisar 2-5% O2 dan CO2 pada kadar yang sama dengan suhu ruang 12 –15° C untuk jenis buah tropis dan 0-5° C untuk buah dingin (Kader, 1980).



DAFTAR PUSTAKA
Ageng, Innaka. 2011. Respirasi Faktor Internal dan Lingkungan. http://comes.umy.ac.id/file.php/1/arsip/Resources_ppt/pasca/Respirasi.ppt diakses tanggal 24 Mei 2011 22:49
Aman, M. 1989. Fisiologi Pasca Panen. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Anonymous. 2009. Pemasakan Buah. http://wordbiology.wordpress.com/2009/01/20/pemasakan-buah/ diakses tanggal 25 Mei 2011 19:30
Anonymous. 2010. Nilai Kandungan Gizi dan khasiat Jambu Biji – Guava. http://eemoo-esprit.blogspot.com/2010/10/niali-gizi-dan-khasiat-jambu-biji-guava.html diakses tanggal 24 Mei 2011 20:06
Anonymousa, 2011. Jambu Biji / Jambu Batu. http://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/jambu_biji.pdf diakses tanggal 24 Mei 2011 20:00
Anonymousb. 2011. Recommended Storage Temperature and Relative Humidity Compatibility Groups. http://ohioline.osu.edu/fresh/Storage.pdf diakses tanggal 24 Mei 2011 22:36
Fauzillah. 2010. Mepertahankan Kesegaran Sayur dan Buah. http://agromeka.wordpress.com/2010/10/09/mepertahankan-kesegaran-sayur-dan-buah-modified-atmosfer-dan-crisping/ diakses tanggal 26 Mei 2011 18:01
Kader, A.A. 1980. Prevention Of Ripening Fruits By Use Of Controlled Atmospheres. Food Technology :51-54
Muchtadi, Deddy. 1992 Fisiologi Pasca Panen Sanyuran dan Buah-Buahan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor: Bogor
Pantastico. 1989. Fisiologi Pasca Panen. UGM: Yogyakarta
Santoso, Bambang. B. 2011. Penanganan Pasca Panen Buah. http://fp.unram.ac.id/data/DR.Bambang%20B%20Santoso/BahanAjar-PascapanenHortikultura/BAB-8-Pasca-Panen-Buah.pdf diakses tanggal 24 Mei 2011 20:32
Smock, R.M. 1979. Controlled Atmospheric Storage Of Fruits. Horticultural Reviews. AVI. Westport, Conn. 1:301-326
Winarno, F. G., 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Winarno F. G. Dan M Aman. 1981. Fisiologi Lepas Panen. PT. Sastra Hudaya: Jakarta


Polisakarida

TANAMAN SINGKONG SEBAGAI PENGHASIL PATI

Starch (pati)
Starch (pati) atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Sumber pati utama di Indonesia adalah beras disamping itu dijumpai beberapa sumber pati lainnya yaitu : jagung, kentang, tapioka, sagu, gandum, dan lain-lain. Hewan dan manusia juga menjadikan pati sebagai sumber energi yang penting (Anomymousb, 2009).
Menurut Wikipedia Indonesia, pati tersusun dari dua macam karbohidrat, amilosa dan amilopektin, dalam komposisi yang berbeda-beda. Amilosa memberikan sifat keras sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Amilosa memberikan warna ungu pekat pada tes iodin sedangkan amilopektin tidak bereaksi. Pati digunakan sebagai bahan yang digunakan untuk memekatkan makanan cair seperti sup dan sebagainya. Dalam industri, pati dipakai sebagai komponen perekat, campuran kertas dan tekstil, dan pada industri kosmetika. Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu digunakan untuk identifikasi (Hill dan Kelley, 1942). Selain ukuran granula karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum, serta permukaan granulanya (Hodge dan Osman, 1976).
Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin dan material antara seperti, protein dan lemak (Bank dan Greenwood, 1975). Umumnya pati mengandung 15 – 30% amilosa, 70 – 85% amilopektin dan 5 – 10% material antara. Struktur dan jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pati biji-bijian mengandung bahan antara yang
lebih besar dibandingkan pati batang dan pati umbi (Greenwood, 1979).
Sifat birefringence dari granula pati adalah sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop terlihat hitam-putih. Pada waktu granula mulai pecah sifat birefringence ini akan hilang. Kisaran suhu yang menyebabkan 90% butir pati dalam air panas membengkak sedemikian rupa sehingga tidak kembali ke bentuk normalnya disebut “Birefringence End Point Temperature” atau disingkat BEPT (Winarno, 1984).
Secara mikroskopik terlihat bahwa granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan tipis yang tersusun terpusat. Granula pati bervariasi dalam bentuk dan ukuran, ada yang berbentuk bulat, oval, atau bentuk tak beraturan demikian juga ukurannya, mulai kurang dari 1 mikron sampai 150 mikron ini tergantung sumber patinya.
Sifat-sifat pati sangat tergantung dari sumber pati itu sendiri. Beberapa sifat dari pati singkong (tapioka), jagung, kentang, gandum yaitu :

Bentuk butiran pati secara fisik berupa semikristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf (Bank dan Greenwood, 1975). Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30% tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan Osman, 1976). Sampai saat ini diduga bahwa amilopektin merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap sifat-sifat kristal dari granula pati (Bank, 1973).
Pemeriksaan dengan polirizing microscope memperlihatkan bahwa pati dengan amilopektin tinggi tetap memperlihatkan pola birefringen-nya seperti pati normal, sementara pati dengan kandungan amilosa yang tidak tinggi dan tidak memperlihatkan pola seperti dari normal (Anonymousa, 2006).

Amilosa
Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan bagian polimer dengan ikatan α- (1,4) dari unit glukosa, yang membentuk rantai lurus, yang umumnya dikatakan sebagai linier dari pati. Meskipun sebenarnya amilase dihidrolisa dengan β- amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang sempurna, β- amilase menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutus ikatan α-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa (Hee-Joung An, 2005).
Suatu karakteristik dari amilosa dalam suatu larutan adalah kecenderungan membentuk koil yang sangat panjang dan fleksibel yang selalu bergerak melingkar. Struktur ini mendasari terjadinya interaksi iodamilosa membentuk warna biru. Dalam masakan, amilosa memberikan efek keras bagi pati (Hee-Joung An, 2005). Struktur rantai amilosa cenderung membentuk rantai yang linear.

Amilopektin
Amilopektin seperti amilosa juga mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai lurusnya, serta ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya. Struktur rantai amilopektin cenderung membentuk rantai yang bercabang. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4–5 % dari seluruh lkatan yang ada pada amilopektin (Ann-Charlotte Eliasson, 2004). Biasanya amilopektin mengandung 1000 atau lebih unit molekul glukosa untuk setiap rantai. Berat molekul amilopektin glukosa untuk setiap rantai bervariasi tergantung pada sumbernya. Amilopektin pada pati umbi-umbian mengandung sejumlah kecil ester fosfat yang terikat pada atom karbon ke 6 dari cincin glukosa (Koswara, 2006).
Amilopektin dan amilosa mempunyai sifat fisik yang berbeda. Amilosa lebih mudah larut dalam air dibandingkan amilopektin. Bila amilosa direaksikan dengan larutan iod akan membentuk warna biru tua, sedangkan amilopektin akan membentuk warna merah (Greenwood dkk., 1979).
Dalam produk makanan, amilopektin bersifat merangsang terjadinya proses mekar (puffing) dimana produk makan yang berasal dari pati yang kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, porus, garing dan renyah. Kebalikannya pati dengan kandungan amilosa tinggi, cenderung menghasilkan produk yang keras, pejal, karena proses mekarnya terjadi secara terbatas (Hee- Joung An, 2005).

Singkong
Singkong yang juga dikenal sebagai ketela pohon atau ubi kayu, dalam bahasa inggris bernama cassava, adalah pohon dari keluarga Euphorbiaceae dan merupakan tanaman tahunan dari negara tropis dan subtropis (Anomymousc, 2009).
Singkong merupakan tanaman perdu yang berasal dari Amerika Selatan dengan lembah sungai Amazon sebagai tempat penyebarannya (Odigboh, 1983 dalam Chan 1983). Ubi ini merupakan tanaman dikotil berumah satu yang ditanam untuk diambil patinya yang sangat layak cerna. Pohon singkong dapat tumbuh hingga 1-4 meter dengan daun besar yang menjari dengan 5 hingga 9 belahan lembar daun. Batangnya memiliki pola percabangan yang khas, yang keragamannya tergantung pada kultivar (Rubatzky dan Yamaguchi, 1995). Gambar pohon singkong dapat dilihat pada Gambar 1.
Bagian dari ubi singkong yang dapat dimakan mencapai 80-90%. Bentuknya dapat berupa silinder, kerucut, atau oval (Wankhede, Satwadhar, dan Sawate, 1998 dalam Salunkhe dan Kadam, 1998). Panjang ubi berkisar 15 hingga 100 cm dan diameternya 3 hingga 15 cm. Bobot ubi kayu berkisar beberapa ratus gram hingga 15 kg. Tanaman singkong umumnya menghasilkan sekitar 5-10 ubi (Rubatzky dan Yamaguchi, 1995). Ubi singkong yang matang terdiri atas tiga lapisan yang jelas yaitu; peridermis luar, cortex, dan daging bagian tengah (Odigboh, 1983 dalam Chan 1983). Ubi singkong dapat dilihat pada Gambar 2.
Ketela pohon (Manihot Utillisima) mempunyai kemampuan untuk membentuk gel melalui proses pemanasan (90°C atau lebih) sebagai akibat pecahnya struktur amilosa dan amilopektin. Dengan terbentuknya gel ini, ketela mampu menjebak udara dan air bebas. Pemecahan ikatan amilosa dan amolopektin akan menyebabkan terjadinya perubahan lebih lanjut seperti peningkatan molekul air sehingga terjadi penggelembungan molekul, pelelehan kristal, dan terjadi peningkatan viskositas (M.J. Deman, 1993).

Proses Pembuatan Tepung Tapioka
Tepung tapioka berbentuk butiran pati yang banyak terdapat dalam sel umbi singkong. Skema proses pembuatan tepung tapioka disajikan pada Gambar 3. Adapun urutan pengerjaan proses pembuatannya adalah sebagai berikut:
1.    Pengupasan dan pencucian
Singkong terlebih dahulu dikupas kulitnya. Setelah singkong dikupas kemudian dicuci untuk menghilangkan lendir di bawah kulit. Pencucian dilakukan dalam bak permanen dan pencucian yang baik adalah air selalu mengalir terus menerus, dengan demikian air selalu diganti.
2.    Pemarutan
Selesai pencucian, singkong dimasukkan dalam mesin pemarut untuk diparut menjadi bubur. Mesin parut terus menerus dicuci dengan air. Air ini mengalirkan bubur ke dalam satu bak dan disinilah bubur dikocok. Dari bak bubur singkong dimasukkan ke alat yang terbuat dari anyaman kawat halus.
3.    Pemerasan dan penyaringan
Pemerasan dan penyaringan dilakukan dengan mesin (saringan getar). Alat penyaring ini terbuat dari anyaman kawat halus atau selapis tembaga tipis yang berlubang kecil-kecil. Bubur dimasukkan dalam alat dan pengairan terus berlangsung. Air dari penyaringan ditapis dengan kain tipis yang dibawahnya disediakan wadah untuk menampung aliran air tersebut. Di atas saringan ampas tertahan, sementara air yang mengandung pati ditampung dalam wadah pengendapan.
4.    Pengendapan
Pengendapan dimaksudkan untuk memisahkan pati murni dari bagian lain seperti ampas dan unsur-unsur lainnya. Pada pengendapan ini akan terdapat butiran pati termasuk protein, lemak, dan komponen lain yang stabil dan kompleks. Jadi akan sulit memisahkan butiran pati dengan komponen lainnya. Bahkan ini terdapat berbagai senyawa sehingga dapat menimbulkan bau yang khas. Senyawa alkohol dan asam organik merupakan komponen yang mempunyai bau khas. Butiran pati yang akan diperoleh berukuran sekitar 4-24 mikron (1 mikron sama dengan 0,001 mm). Sifat kekentalan (viskositas) cairan tapioka tidak jauh berbeda dengan air biasa. Butiran pati yang berbentuk bulat dan mempunyai berat jenis 1,5 dan butiran ini harus cepat diendapkan. Kecepatan endapan sangat ditentukan oleh besarnya butiran pati, keasaman air rendaman, kandungan protein yang ikut, ditambah zat koloidal lainnya. Pengendapan butiran (granula) umumnya berlangsung selama 24 jam dan akan menghasilkan tebal endapan sekitar 30 cm.
5.    Pengeringan
Pengeringan disini dimaksudkan untuk menguapkan kandungan air sehingga diperoleh tepung tapioka yang kering. Untuk itu endapan pati harus segera dikeringkan. Pengeringan bisa menggunakan sinar matahari, atau pengeringan buatan. Pengeringan buatan yang sering digunakan adalah batch drier, oven drier, cabinet drier, dan drum drier. Endapan pati yang terbentuk semi cair ini mempunyai kandungan air sekitar 40 % dan dengan pengeringan langsung akan bisa turun sampai 17%. Dalam pengeringan harus diperhatikan faktor suhu terutama yang menggunakan panas buatan. Suhu jangan melebihi 70 - 80°C. Gumpalan-gumpalan pati setelah keluar dari pengeringan langsung dihancurkan guna mendapatkan tepung yang diinginkan. Penghancuran dapat melalui rol atau disingrator. Hasil dari penghancuran ini masih berupa tepung kasar. Untuk memperoleh tepung yang halus maka perlu disaring atau diayak.

Pati Singkong
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno, 1984). Struktur amilosa merupakan struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa. Amilopektin terdiri dari struktur bercabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa dan titik percabangan amilopektin merupakan ikatan α-(1,6). Berat molekul amilosa dari beberapa ribu hingga 500.000, begitu pula dengan amilopektin (Lehninger, 1982).
Pati dapat diekstrak dengan berbagai cara, berdasarkan bahan baku dan penggunaan dari pati itu sendiri. Untuk pati dari ubi-ubian, proses utama dari ekstraksi terdiri perendaman, disintegrasi, dan sentrifugasi. Perendaman dilakukan dalam larutan natrium bisulfit pada pH yang diatur untuk menghambat reaksi biokimia seperti perubahan warna dari ubi. Disintegrasi dan sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan pati dari komponen lainnya (Liu, 2005 dalam Cui, 2005). Diagram alir ekstraksi pati dari umbi akar dapat dilihat pada Gambar 4.
Pati singkong mengandung 83% amilopektin yang mengakibatkan pasta yang terbentuk menjadi bening dan kecil kemungkinan untuk terjadi retrogradasi (Friedman, 1950; Gliksman, 1969 dikutip Odigboh, 1983 dalam Chan, 1983). Menurut Murphy (2000) dalam Phillips dan Williams (2000), ukuran granula pati singkong 4-35 μm, berbentuk oval, kerucut dengan bagian atas terpotong, dan seperti kettle drum. Suhu gelatinisasi pada 62-73°C, sedangkan suhu pembentukan pasta pada 63°C. Menurut Santoso, Saputra, dan Pambayun (2004), pati singkong relatif mudah didapat dan harganya yang murah. Bentuk granula pati singkong dapat dilihat pada Gambar 5.
DAFTAR PUSTAKA

Ann-Charlott Eliasson. 2004. Starch in Food. Woodhead Publishing Limited Cambridge England

Anonymousa. 2006. Teknologi Modifikasi Pati, http://ebookpangan.com//teknologi_modifikasi_pati diakses pada tanggal 05 Maret 2011 18:00 WIB

Anonymousb. 2009. Pati (Polisakarida). http://id.wikipedia.org/wiki/ pati_polisakarida diakses pada tanggal 05 Maret 2011 18:00 WIB

Anonymousc. 2009. Singkong. http://id.wikipedia.org/wiki/singkong diakses pada tanggal 05 Maret 2011 18:00 WIB

Bank, W dan C.T. Greenwood. 1975. Starch Its Components. Halsted Press, John Wiley and Sons, N.Y

Beynum, G.M.A. dan J.A. Roels. 1985. Starch Convertion Technology. Applied Science Publ., London

Chan, H. T., JR. 1983. Handbook Of Tropical Foods. Marcel Dekker Inc., New York and Bassel

Cui, S. W. 2005. Food Carbohidrates Chemistry, Physical Properties, and Aplications. CRC Press, Boca Raton, London, New York, Singapore

Deman, M.J., Kimia Makanan, ITB, Bandung, 1993, pp. 190-195

Greenwood, C.T. dan D.N. Munro. 1979. Carbohydrates. Di dalam R.J. Priestley, ed. Effects of Heat on Foodstufs, Applied Science Publ. Ltd., London

Hee-Young An.  2005. Effects of Ozonation and Addition of Amino acids on Properties of Rice Starches. A Dissertation Submitted to the Graduate Faculty of the Louisiana state University and Agricultural and Mechanical College

Hill dan Kelley. 1942. Organic Chemistry. The Blakistan Co., Philadelphia, Toronto

Hodge, J.E. dan E.M. Osman. 1976. Carbohydrates. di dalam Food Chemistry. D.R. Fennema, ed. Macel Dekker, Inc. New York dan Basel

Koswara. 2006. Teknologi Modifikasi Pati. Ebook Pangan

Phillips, G. O., P. A. Williams. 2000. Starch. Dalam: Handbook of Hydrocolloids. CRC Press, Cambridge, London

Rubatzky, V. E., and M. Yamaguchi. 1995. Sayuran Dunia 1. Penerjemah : Catur Herison. Penerbit ITB, Bandung

Salunkhe, D. K., S. S. Kadam. 1998. Handbook of Vegetable Science and Technology : Production, Composition, Storage, and Processing Food Science and Technology. Marcel Dekker Inc., New York, Basel, Hongkong

Santoso, B., D. Saputra, dan Pambayun, R. 2004. Kajian Teknologi Edible Coating dari Pati dan Aplikasinya Untuk Pengemas Primer Lempok Durian. Jurnal Teknol dan Industri Pangan XV (3)

Winarno, F. G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta